“Sejarah, Janggut, Bayang, dan Bunyi Aceh” Oleh Azhari Aiyub
Sejarah PADA 2006 saya memulai sebuah proyek yang saya namakan Kura-kura Berjanggut – sebuah percobaan meleburkan teks-...
https://downestblog.blogspot.com/2019/01/sejarah-janggut-bayang-dan-bunyi-aceh.html
Sejarah
PADA 2006 saya memulai sebuah
proyek yang saya namakan Kura-kura Berjanggut – sebuah percobaan meleburkan
teks-teks sejarah ke dalam bentuk fiksi. Titik-tolak dari pekerjaan ini berdasarkan
kenyataan, bahwa sejak awal masa kekuasaan Orde Baru militer merampas peran
penulisan sejarah resmi dari tangan para sejarawan profesional. Para
cendikiawan dalam bidang lain ikut dalam barisan yang sama, terpaksa maupun
tidak, bahumembahu menata sebuah model negara-bangsa yang arahnya akan sangat
berlawanan dengan cita-cita kemerdekaan ketika Indonesia lahir dan lepas dari
belenggu kolonialisme 20 tahun sebelumnya. Mereka membangun fiksi! Adapun
mereka yang tidak percaya dengan fiksi ini, kesepian di menara gading tapi
tidak berani melongok kenyataan di bawah sana yang amat mengerikan. Sisi lain
yang lebih memilukan, rekan-rekan seprofesi para cendikiawan ini banyak yang
dibunuh, dipenjarakan, dan kehilangan kewarganegaraan. Fiksi ini akan bertahan
selama 32 tahun, tapi tidak residu dari propaganda yang direproduksi oleh rezim
ini, berumur panjang, beracun, mencemari akal sehat, dengan demikian mematikan,
seperti dampak oleh radioaktif. Dengan taktik ini rezim tersebut antara lain
mendapatkan legitimasi atas pembunuhan massal 65', kebencian terhadap paham
komunisme, menyeruaknya modal asing, kebutuhan terhadap pembukaan lahan yang
melahap permukiman penduduk, hutan lindung dan sumber daya air, buruh berupah
rendah, munculnya pahlawan baru sebagaimana pada waktu yang bersamaan musuh
baru dilahirkan hanya untuk dibunuh ribuan kali, yang kesemua tindakan tersebut
bisa dirangkum dalam satu kalimat: fiksi Orde Baru melumpuhkan nalar dalam
bentuknya yang paling keji dan brutal. Apa yang paling dirasakan selama 32
tahun kekuasaan rezim ini adalah, kita hampir tidak bisa membedakan masa lalu
sebagai propaganda dan masalalu sebagai ilmu pengetahuan. Nyaris tidak ada
celah, kekuasaan otoriter ini menyasar penyerahan total dan kepatuhan dalam
segala hubungan dengan rakyat yang dikontrolnya. Reaksi balik terhadap
kekuasaan ini bukannya tidak ada, walaupun tidak banyak, gerakan-gerakan
perlawanan yang berakar pada separatisme mulanya sangat menjanjikan, tapi pada
akhirnya memperlihatkan watak yang kurang lebih sama, menerapkan taktik
kekuasaan kharismatik dalam merebut dan mempertahankan kontrol atas emosi
massa. Hasan Tiro, ideolog Gerakan Aceh Merdeka, misalnya, melawan perasaan
rendah diri yang dibentuk dan dipupuk Orde Baru dengan menemukan perasaan
superioritas orang Aceh yang digalinya dari reruntuhan masa lalu. Gagasan ini
telah menawan imajinasi orang Aceh setidaknya selama satu generasi. Namun,
selalu ada persamaan antara pembentukan dan penemuan, keduanya datang dari
atas, karena itu akan selalu bermuara pada penentuan privilese, hak atas
sejarah atau royalti atas fiksi. Walaupun kediktatoran telah tumbang dan dalam
dua dekade terakhir Indonesia dipuji sebagai negara paling demokratis di Asia
Tenggara, tidak banyak generasi kami yang berhasil menyelamatkan diri dari
indoktrinasi rezim Orde Baru yang didirikan di atas pembantaian massal 65',
perang kotor di Aceh, Timor Leste, dan Papua. Ini bisa dimengerti, karena
selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, rezim tersebut berhasil mengasingkan
kehidupan intelektual dari arena politik, di mana pandangan bahwa politik hanya
layak diurusi oleh para politikus juga berlaku dalam dunia seni. Di lapangan
sastra misalnya, sedikit sekali karya sastra yang ditulis berdasarkan pemahaman
yang cukup jelas tentang politik, seperti, misalnya, memasuki tema gelap
korupsi, kehancuran ekologis, dan kekejian pembantaian massal. Waktu itu saya
beranggapan, keberhasilan proyek Kura-kura Berjanggut sangat ditentukan oleh
narasi sejarah yang pada awalnya digunakan sebagai acuan atau referensi tidak
bisa lagi dibedakan apakah itu sebagai teks sejarah atau hanya sekadar fiksi.
Jika fiksi Orde Baru telah menyamarkannya, maka fiksi saya akan semakin
menyamarkannya. Prinsip ini saya anggap sebagai cara kerja yang paling tepat
untuk berhadapan dengan teks propaganda Orde Baru yang disebarkan secara luas
melalui institusi pendidikan, seni, dan museum. Pada saat yang bersamaan,
mungkin selama dua belas tahun, saya berusaha keras menyelamatkan fiksi saya
sebagai wadah untuk mengomentari keadaan sosial atau apa pun yang membuat buku
Kura-kura Berjanggut menjadi didaktis, suatu propaganda jenis lain yang harus
kita pandang sama berbahayanya dengan buku-buku yang dikarang oleh junta
militer untuk tujuan cuci otak massal. Saya tidak tahu apakah saya berhasil
melalui ujian ini. Tapi satu hal, saya telah gagal untuk membuat pembaca
Kura-kura Berjanggut untuk berhenti bertanya, apakah yang kamu tulis itu
sejarah? Apakah yang kamu tulis itu benar-benar terjadi? Apakah tokoh-tokoh
yang kamu maksud dalam halaman sekian merujuk kepada atau meniru tokoh tertentu
dalam sejarah kita? Oleh pertanyaan-pertanyaan ini satu hal sudah jelas,
pembaca tidak membiarkan si pengarang mati, dan memasuki teks layaknya
anak-anak yang dengan santai dan tanpa dosa menghadapi buku bacaan mereka. Saya
tidak yakin, apakah saat membaca Pangeran Kecil, seorang anak akan bertanya
apakah orang Turki penemu Asteroid B-612 adalah Harun Yahya, sementara si
congkak dan narsis yang ditemuinya di asteroid kedua merupakan tiruan Donald
Trump. Pertanyaan-pertanyaan ini, menyiratkan satu hal, kegagalan tak
termaafkan sang penulis pada saat melakukan proses peleburan antara narasi
'sejarah' yang mulanya menjadi acuan dengan fiksi (fiksi dalam pengertian
harfiahnya: buat, yang sedikit banyak akan kita ulas nanti), sebagaimana yang
telah saya singgung di atas. Dalam hal ini, fiksi Orde Baru terlalu kokoh untuk
dihancurkan. Dunia rekaan yang saya bentuk, masih belum bisa melepaskan dirinya
dari dan oleh dunia rekaan ciptaan Orde Baru, bahwa sejak awal, sejak 53 tahun
lalu, hanya ada satu dunia rekaan, satu sang pengarang agung, dan mungkin akan
selamanya seperti itu. Sampai di sini saya mulai mengerti, dan karena itu masuk
akal, mengapa para penulis cerita picisan yang menemami masa remaja saya di
bawah rezim Orde Baru, perlu membubuhi sangkalan dalam novel-novel cabul
mereka: cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat
kejadian atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur
kesengajaan. Dalam masyarakat yang dapat dengan jelas membedakan antara
kenyataan dan dunia rekaan penyangkalan di atas bukan hanya tidak perlu, tapi
juga anakronis. Penyangkalan yang terang-benderang seperti ini bukan hanya
menghina nalar pembaca, sekaligus membuktikan bahwa fiksi tidak eksis. Ada dua
kondisi yang menyebabkan fiksi tidak eksis. Pertama, karena negara selama
bertahun-tahun mengawasi dan mengatur masyarakatnya dengan sensor. Kedua,
ketakutan warga negara untuk berani menciptakan sesuatu, bahkan jika itu hanya
mengarang cerita cabul. Dalam kata lain, baik kenyataan maupun fiksi, keduanya
hanya boleh diciptakan oleh otoritas. Bukan satu kebetulan pada masa itu
kediktatoran menggunakan bahasa politik seperti dalang kerusuhan dan aktor
intelektual untuk menyerang musuh-musuhnya, yang sebenarnya dicatut dari konsep
yang dikenal umum dalam dunia rekaan. Ketika kita ulangi lagi kedua kata itu
sekarang terdengar seperti lelucon, tapi tidak demikian ketika Orde Baru masih
di puncak kekuasaannya, itu sama seperti menemukan pintu rumah kita disilang
warna merah. Bersamaan dengan itu, para penulis membuat batas demi menjinakkan
kebebasan mereka. Mereka tahu ada satu fiksi akbar yang tidak boleh dilewati,
fiksi yang dikarang oleh kediktaroran, karena risiko jika menerobos perimeter
tersebut kiranya jelas, dihambat kariernya, dipenjarakan, hartabendanya
dirampas, diculik, dan dikirim ke kamp konsentrasi. Penyair Wiji Thukul sampai
saat ini masih mengisi daftar orang hilang. Fiksi akbar ini bukan hanya
mengendalikan dan mengisolasi para penulis Indonesia tapi sekaligus para
pembacanya, mengisolasinya ke dalam hanya satu dunia. Dalam kasus ini, tidak
ada dunia paralel, tidak ada tempat bagi fiksi alternatif, dan ini tentu saja
melawan hukum alam. Ketika suatu hari kediktatoran ini tumbang, demokrasi dan
iklim kebebasan pun ternyata tidak berdaya memisahkan batas antara kenyataan
dan fiksi. Demokrasi sejauh ini hanya mengubah cara kita dalam mendapatkan
akses terhadap informasi, tersedia dalam banyak kanal serta tidak lagi melalui
saluran resmi. Namun demikian, apa yang dipancarkan oleh beragam saluran
tersebut tetap bersumber pada data dan informasi dari masa kediktatoran yang
kita pikir sudah tamat dan membusuk. Saya akan mengajukan satu contoh bagaimana
fiksi tentang ketakutan dan hukuman, dua plot utama dalam fiksi kediktatoran,
terus menghantui kita dalam kaitannya dalam cara pandang kita memahami
kenyataan. Bencana alam yang membunuh ribuan atau bahkan ratusan ribu manusia
adalah kenyataan, tapi anggapan bahwa bencana alam tersebut disebabkan oleh perilaku
homokseksualitas segilintir anggota masyarakat adalah model paling umum dari
fiksi ketakutan dan hukuman dimaksud, fiksi yang buruk dan jahat, tapi
malangnya diyakini oleh begitu banyak orang. Ketika sekarang tentara tidak lagi
leluasa mengarang fiksi dan mungkin juga karena keterbatasan sumber daya,
kodim-kodim mengerahkan serdadunya merazia buku-buku yang ditulis oleh para
cendekiawan. Langkah ini diambil, harus dilihat dalam rangka mempertahankan
satu-satunya dunia rekaan yang tersisa, fiksi akbar pada masa kediktatoran, di
mana bayang dan bunyinya ternyata masih bekerja dengan baik.
Janggut
Di atas saya telah mengatakan,
bahwa asal kata fiksi adalah buat. Fiksi sebagai kata kerja, kata yang
menggambarkan tahapan. Berakar dari bahasa Latin, fictiō, yang kurang lebih
berarti 'seni untuk membuat', membuat sesuatu, bisa seni membuat hoak,
takhayul, propaganda, laporan penelitian, karya jurnalistik dan tentu saja
sastra, yang untuk hal terakhir ini hubungan keduanya sudah begitu menyatu,
seolah-olah sastra adalah fiksi dan fiksi adalah sastra. Sebelum zaman mengubah
fiksi menjadi kata benda dan rakrak buku di perpustakaan membedakannya dengan
non-fiksi, jejak pengertian tersebut masih bisa kita telusuri pada cabang
bahasa Latin lain, bahasa Prancis kuno, ficcion, yang mengartikannya sebagai
penemuan, tipu muslihat, atau pemalsuan terhadap kenyataan. Semua profesi yang
sehari-hari berurusan dengan teks harusnya akrab dengan kata ini. Pada sore
hari ini saya akan memanggil Simone Simonini, seorang ahli hukum berkebangsaan
Italia. Melalui tokoh ini, dalam The Prague Cemetery, Umberto Eco,
memperlihatkan dari mana seluruh hoak jahat yang menyebabkan seluruh penduduk
Eropa ketakutan pada paruh pertama abad sembilan belas berasal – dikarang oleh
tokoh kita dengan berdarah dingin. Dia dengan sepenuh hati melayani kliennya
dari kalangan para penguasa yang gelisah dan terancam. Dia sangat menikmati
profesinya sebagai pembuat hoak, yang upah untuk itu sebagian besar dipakai
untuk menunjang selera makannya yang sangat berkelas, mahal, dan tiada duanya.
Pada masa Darurat Militer 2003-2004 mengisolasi Aceh, pers Tanah Air melahirkan
karya jurnalistik paling buruk, keji dan tercela dalam sejarah sejak Reformasi
1998. Fiksi ini adalah bagian dari serial embedded journalism yang penuh teror.
Para wartawan menulis tentang kebenaran dari operasi tersebut dengan cara
berlindung di balik rompi anti peluru yang diberikan oleh Penguasa Darurat
Militer. Bagaimana kita mampu memamah surat kabar saat itu, karena isinya bukan
hanya sampah propaganda, tapi sejatinya adalah bangkai manusia yang dibunuh
secara keji dan sewenang-wenang, sama seperti kita tidak makan ikan laut
menyusul tenggelamnya KM Gurita pada 1996 di Teluk Sabang, karena isi perut
ikan penuh dengan bangkai manusia. Lantas apa konsekuensinya ketika kita
menerima fiksi semata-mata sebagai kata benda? Pertama, tanpa mendasarkan fiksi
sebagai kata kerja, kita akan kesulitan memisahkan kenyataan dari lapisan
kepalsuan yang menyelubunginya. Kedua, tentu saja kita akan kehilangan
kesempatan untuk memahami dan melacak bagaimana tipu muslihat dan pemalsuan
terhadap kenyataan itu dilakukan. Dan ketiga, siapa sang Pengarang Agung?
Apakah dia Anak Haram, Buronan, atau Nabi Palsu. Kenapa dia mengarang dan
darimana dia mendapatkan legitimasi sehingga dia memiliki keleluasaan
mendefinisikan realitas kita? Ketiga pertanyaan ini, tentu saja berlaku kalau
kita percaya bahwa apa yang dianggap sebagai kenyataan tidak selalu sebagaimana
yang kita lihat atau dengar, tapi tiba di hadapan kita melalui bermacam-macam
cara, yang membuat kenyataan mengalami perubahan dari wujud asalnya, apakah
meluruh atau bertambah, apakah sebagian atau keseluruhan. Ringkasnya, kenyataan
tiba di depan kita bagai nasib unsur dalam kimia, tidak lagi memiliki inti yang
stabil dan kemungkinan besar terjadi penyimpangan massa atom yang sangat
menentukan sehingga mengubah nilai dan juga cara kita menghargainya. Di sinilah
saya pikir posisi terbaik sebagai seorang pembaca. Fiksi memungkinkan hanya
karena ada campur tangan manusia. Dalam hal ini, bahasa mempunyai peran yang
nyaris tak tergantikan. Sebaliknya, kenyataan tidak membutuhkan bahasa. Bencana
alam yang membunuh ribuan atau bahkan ratusan ribu manusia adalah suatu
kenyataan, yang jika tidak ada bahasa untuk memaknainya maka kenyataan tersebut
akan tetap seperti itu. Kasus lain, kemusnahan dinosaurus dan spesies sezaman
di planet ini, sebelum sains mengintervensinya, maka merupakan sebuah
kenyataan. Karena dinosaurus tidak punya bahasa untuk menjelaskan kehancuran tersebut
maka tidak ada fiksi versi mereka. Baru-baru ini saja fiksi tentang kehancuran
itu dibuat oleh manusia. Bahasa memungkinkan manusia untuk bertanya apa yang
membuat makhluk zaman purba tersebut punah dan apa yang menyebabkan
kepunahannya? Pada titik ini, manusia mulai menyentuh kenyataan tersebut,
sebagian kecil di antaranya membuat hipotesis, memprediksi, dan setelah
menyelidiki bukti-bukti tentang hal itu, mengajukan satu atau dua kemungkinan,
sebelum memutuskan melalui seleksi yang ketat kemungkinan kehancuran yang
paling mendekati kebenaran. Bagaimana prosedur ini layak dipercayai sekaligus
mengikat? Prosedur ini disepakati oleh para saintis baik dalam konferensi
maupun pertemuan tingkat tinggi, sementara tata-caranya bertahun-tahun
diajarkan di institusi pendidikan di bawah bimbingan para guru yang otoritatif.
Oleh karena itu, berkat campur tangan bahasa, manusia mempunyai satu fiksi
tentang kepunahan dinosaurus dan sebab kepunahannya. Kata-kata yang saya
gunakan di atas, seperti prosedur ilmiah, disepakati, dipercayai, mengikat,
konferensi, pertemuan tingkat tinggi, tata cara, institusi pendidikan,
bimbingan, guru yang otoritatif saya ulangi lagi, tidak lain karena menyangkut
otoritas bagaimana fiksi ini layak dipercaya serta memenuhi unsur kebenaran.
Dalam lain bahasa, otoritas untuk memenuhi syarat kebenaran ini tidak akan
mungkin dicapai tanpa kompleksitas pembentuknya, sekaligus membedakannya secara
tegas dengan versi kebenaran lain, yang pembentukannya barangkali dicapai
melalui jalan yang berbeda. Oleh karena itu, sifat dari otoritas selalu mulia,
walaupun makna kemulian itu selalu berubah setiap zaman, sangat tergantung
bagaimana suatu zaman menghargai kompleksitas tersebut. Otoritas sains baru
dihargai mungkin sekitar pada Abad Pertengahan Akhir. Sebelum itu, otoritas
yang berwenang mengajukan kebenaran terbatas pada beberapa pihak, dua yang
paling utama adalah raja dan agamawan, selebihnya ada pada peramal dan tukang
sihir. Pada waktu itu, di luar golongan ini, manusia biasa mungkin bisa memaknai
kenyataan, bahkan memanipulasinya menjadi fiksi, tapi tanpa otoritas mereka
tidak berwenang untuk mengajukannya sebagai satu kebenaran. Apa yang menjadi
tantangan sekaligus musuh bagi otoritas sebenarnya adalah bagaimana melawan
secara konstan kompleksitas yang dibentuknya sendiri. Dan kata kunci untuk ini
adalah koreksi dan pembaharuan terhadap kompleksitas tersebut. Otoritas ilmu
pengetahuan bisa selamat, dan karena itu kita terus mendapatkan fiksi-fiksi
yang mengagumkan sejak Newton hingga Chien-Shiung Wu; dari Ibnu Khaldun hingga
Judith Butler; sejak al-Khwarizmi hingga Maryam Mirzakhani, karena sains
mempunyai sistem untuk memperbaharui kompleksitasnya. Sebaliknya, zaman terus
menjadi ancaman bagi otoritas agama dan sejenisnya. Kelonggaran-kelonggaran
yang sedang berlangsung dalam politik Arab Saudi akhir-akhir ini, salah satu
negara-agama yang paling tidak dinamis dalam setengah abad terakhir,
menyiratkan bagaimana kompleksitas ini mencari jalan keluar dari kebuntuannya
akibat zaman yang berubah. Untuk apa kebenaran ini? Tidak lain, untuk membuat
manusia lain tunduk. Dengan demikian, tujuan utama fiksi adalah membuat orang
lain tunduk dan percaya tanpa syarat. Berkenaan dengan hal ini, saya akan
mengajukan satu contoh. Di kalangan penandong Pulau Simeulue untuk membuat
pendengar yakin dan percaya dengan apa yang mereka ceritakan sekalipun apa yang
mereka sempaikan itu terdengar buruk dan nista, mereka beriman pada kredo:
syarat adalah yang pertama, doa yang kedua. Apa syaratnya? Suara seorang penandong
harus merdu, memiliki nafas seperti ikan paus serta mampu menghafal ribuan bait
nandong. Melalui tiga syarat tersebut, para penandong membentuk kompleksitas
tentang kepakaran mereka, jalan satusatunya menggapai otoritas, sekaligus
membedakan artikulasi mereka dengan mantra seorang dukun. Raja, ahli vaksin,
jenderal, ulama, arsitek, dokter, pawang hujan, insinyur, geolog, juga
berjibaku melewati kompleksitas serupa ini. Kualifikasi ini membuat seorang
penandong berbeda dengan orang lain, membentuk otoritas untuk golongan mereka
sendiri, membedakan bunyi suara mereka dengan otoritas lain, seperti, misalnya,
bunyi yang disuarakan oleh bupati atau khotbah agamawan. Walaupun bunyi suara
bupati atau agamawan mencoba-coba menyerupai suara penandong, oleh kualifikasi
ini dan sejauh syarat-syarat di atas tidak dipenuhi, pendengar dengan mudah
mengatakan bahwa itu bukanlah suara nandong, melainkan tiruan, dengan demikian
kebenaran tetap terpelihara. Dengan fondasi yang kurang lebih sama, ortodoksi
agama melindungi dirinya dari aliran sesat, dan sains hingga hari ini bertahan
dari serbuan pseudo-sains, sementara hirarki yang ketat dalam tubuh militer
menghindari seorang jenderal disubversi oleh bawahannya yang berpangkat letnan
kolonel. Buktinya, tidak mudah untuk menciptakan fiksi baru bahwa bumi ini
datar, sama sulitnya seperti mengembangkan sebuah aliran sesat, seperti
kura-kura berjanggut. Selama dua alaf, umat manusia telah menggubah sejumlah
kenyataan menjadi jutaan fiksi, yang bahasa untuk menciptakan fiksi-fiksi
tersebut tidak selalu dibimbing oleh nalar, namun lebih sering dikendalikan
oleh rasisme, fanatisme, kebencian, takhayul, superioritas, dan kepicikan.
Kenyataan tentang bencana Tsunami 2004 di Aceh, misalnya, diikuti dengan
berlimpahnya fiksi tentang azab tuhan, dan pendekatan terhadap bencana ini
bukanlah dibuat secara spesifik oleh beberapa demagog kita, melainkan satu pola
umum dalam khasanah fiksi umat manusia, yang antara lain menjadi cikal-bakal
kelahiran dewa-dewi Yunani yang kejam, yang ditiru semena-mena oleh para
demagog yang malas tapi angkuhnya luar biasa! Sebelum tulisan menjadi wahana
kesepahaman bersama di antara puak manusia tertentu untuk saling mengerti
tentang sesuatu hal, fiksi dijalankan secara lisan, bentuk yang paling menonjol
adalah cerita. Antara cerita satu dengan cerita lain hampir selalu saling
berkaitan. Itu karena selama berabadabad, atau bahkan dalam rentang alaf,
cerita menempuh perjalanan, ikut bersama migrasi umat manusia, dibawa oleh
pedagang, petualang dan peziarah, mengikuti kuda-kuda para penakluk, terseret
bersama nasib buruk sebuah puak yang terusir dan ditaklukkan. Jadi tidak perlu
heran, apabila kita menemukan sebuah cerita yang sama di tiga tempat, meskipun
masingmasing tempat tersebut berjarak ribuan mil atau terpisah oleh lautan.
Cerita tentang naga misalnya hampir ada di setiap negara di Asia. Persamaan
bentang geografis umumnya membuat manusia berbagi cerita yang sama. Maka kita
mengenal kisah tentang anak durhaka terdapat di Minangkabau dan di Aceh yang
plot atau jalan ceritanya nyaris sama. Tapi dari mana cerita datang? Konon,
pada awalnya cerita datang dari mimpi. Sebelum pengetahuan ada, mimpi adalah
hal yang paling dekat dengan manusia. Empat puluh ribu tahun silam penduduk
asli Australia, Aborigin, berhubungan dengan leluhur mereka melalui mimpi, dari
mana aturan-aturan hidup disusun dan diletakkan. Hingga sekarang sebuah puak di
pedalaman Pulau Kalimantan masih mengandalkan mimpi mereka semalam untuk
menjalani satu hari dalam kehidupan mereka, sebelum digantikan oleh mimpi yang
lain. Copotnya leher seorang raja yang sah lebih sering disebabkan oleh mimpi
abdinya yang ambisius, ketimbang persekongkolan militer yang lihai. Semua
cerita awal umat manusia yang berkenaan dengan penciptaan alam semesta dan
isinya serta uraian tentang bagaimana fenomena alam terjadi, yang oleh para
ahli tradisi lisan disebut mitologi, hampir selalu bertujuan untuk menundukkan.
Kenapa satu komunitas masyarakat menyembah matahari atau gunung, karena mereka
mempunyai buhul yang sangat kuat dengan benda-benda tersebut dan dibentuk oleh
kekuatan cerita. Saat memandang bulan, bawah sadar kita kadangkala masih
terhubung dengan cerita ibu kita tentang pohon beringin, tempat seorang nenek
yang aneh sedang menenun kain dan sewaktu-waktu dia bisa bangkit lalu menghukum
kita yang berada di bawah. Saat terjadi gerhana, orang-orang di zaman kita
masih menampung air di dalam piring, berharap dapat mencegah terjadinya
bencana, dan berpikir ada sebuah kekuasaan lain yang sedang mengendalikan
peristiwa tersebut. Pilihan bertindak dalam merespon kedua peritiswa alam ini
besar kemungkinan juga dibimbing oleh cerita. Tanpa harus mengerahkan anjing
penjaga, ranjau dan santet, cerita selama berabad-abad juga berperan menjaga
kesucian suatu ruang bersama. Terhadap fiksi jenis ini, antropologi akan
mengatakan itu adalah cara yang paling murah dan sederhana untuk menandai
kepemilikan bersama terhadap sumber daya alam. Monster, setan, hantu blawu,
orang keramat yang pemarah, menjaga hutan-hutan adat tertentu, dan bagi para
penjarah yang ingin merebutnya dari masyarakat adat perlu bantuan segerombolan
antropolog, budayawan, dan pusat studi untuk menghancurkan keangkeran tempat
seperti itu. Tentu saja dengan sebuah fiksi baru. Sementara itu, cerita juga
bertugas menjaga nama baik para pahlawan dan orang suci. Cerita jenis ini
disebut epos, versi paling awal dari sejarah, jauh sebelum historiografi
dikenal, dalam hal ini, sejarah sebagai ilmu dan berwatak ilmiah. Versi seperti
ini mengisahkan perang-perang besar, pahlawan-pahlawan tertentu dikenang,
ditangisi, dan diteladani. Sejarah Aceh misalnya merangkum kisah kepahlawanan
Malem Dagang atau hagiografi tentang Pocut Muhammad. Di sisi lain kita mengenal
para pengkhianat dan antagonis seperti Si Ujud dan Jamaloalam. Perbedaan watak,
anatomi, dan sifat masing-masing karakter dibuat sejelas mungkin, hampir tidak
ada celah untuk motif dan konflik psikologis, terutama untuk memanen empati
terhadap si baik dan sebaliknya kebencian terhadap si jahat. Jenis fiksi ini
punya tujuan jelas, yakni menyokong tegaknya struktur kekuasaan di dalam
masyarakat, melegitimasi kekuasaan politik sebuah dinasti, sekaligus menistakan
lawanlawan politiknya. Inilah yang disebut siapa yang menang dialah yang
menentukan sejarah. Kudeta-kudeta berdarah, pembasmian etnis, penyebaran agama
baru, tidak mungkin ditegakkan hanya melalui jalan pedang, tapi kebenaran
mengapa hal tersebut harus dilakukan dan yang tidak kalah penting sejauh mana
kebenaran tersebut mampu bertahan selama mungkin tidak bisa tidak sangat
ditentukan oleh fiksi yang solid. Salah satu epos modern Indonesia berkenaan
dengan hal ini, adalah fiksi tentang kepahlawanan Suharto dalam Serangan Umum
11 Maret dan peran sang diktator dalam menumpas mereka yang dituduh pengikut
komunis. Fiksi yang pertama belakangan disanggah dengan sebuah humor, bahwa
pada saat pertempuran berlangsung, ternyata Suharto tidak berada di garis
depan, melainkan sedang asyik menyantap soto di markasnya. Fiksi kedua
menggambarkan Gerwani memutilasi para jenderal, yang kemudian dibantah oleh
seorang sarjana berdasarkan penyelidikannya terhadap dokumen forensik.
Bayang dan Bunyi
Bantahan dan sanggahan bukan
berarti membuat satu fiksi serta-merta kehilangan kekuatannya, tapi sekadar
menendangnya keluar dari titik tengah atau narasi utama sehingga tidak lagi
dijadikan satu-satunya acuan atau pun penuntun hidup. Tapi tunggulah suatu saat
dia akan bangkit dari kuburnya dan kembali kepada kita, tentu saja melalui
pengarang yang berbeda. Itu sebabnya, mengapa fiksi-fiksi lama masih berumur
panjang dan menjadi bagian dari zaman kita. Kita berpikir fasisme dan supremasi
kelas sudah tamat ajalnya setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II, namun
belakangan, seperti virus purba yang membeku selama ribuan tahun dan mencair
akibat perubahan iklim, paham ini kembali menyebar dan menemukan pengikutnya di
Eropa. Begitu juga fiksi tentang tembok. Setelah keruntuhan Tembok Berlin kita
tidak pernah berpikir dunia akan membangun tembok baru. Akan tetapi, Imperium
sekarang sedang membangun sebuah tembok baru. Aceh, misalnya, pernah punya
pengalaman pahit dengan struktur feodalisme, baik kengerian bagaimana struktur
tersebut dijalankan maupun pada saat masyarakat menghancurkan kelas elite di
dalam tatanan sosialnya pada pertengahan abad dua puluh. Namun demikian,
akhir-akhir ini terlihat ada keinginan yang begitu kuat untuk kembali kepada
simbol-simbol feodal. Rajaraja baru dinobatkan, sementara fiksi baru disusun
untuk menentukan siapa yang paling berhak mewarisi mahkota masa lalu. Posisi saya
di sini tidak untuk menghakimi kecenderungan tersebut, melainkan memperlihatkan
bahwa fiksi yang dianggap sudah terkubur selalu mempunyai taktik untuk
melepaskan ikatan kain kafannya dan menolak evolusi. Pertanyaannya, bagaimana
bisa? Ketika tatanan yang tersedia sekarang tidak bisa memberikan jaminan
terhadap masa depan, terutama ketika basis moralnya membusuk akibat korupsi dan
kemunafikan elite penguasa, sementara universitas sebagai benteng terakhir
tempat akal sehat bernaung runtuh dan para intelektual publiknya dirampas oleh
partai politik, maka jawabannya adalah mundur ke belakang, mencari basis moral
baru, tidak peduli sejauh apa pun masa lalu itu berasal, asalkan kepastian,
kenyamanan, dan perlindungan dapat ditawarkan. Namun, problemnya antara masa
lalu dan masa kini basis moralnya sama sekali tidak berubah, berasal dari
trayektori yang sama. Dia seolah-olah baru karena yang lama itu baru ditemukan.
Dibandingkan dengan visi masa depan yang rentan kegagalan dan abstrak, daya
pikat masa lalu adalah karena dia tidak pernah kekurangan contoh, replika,
kopian, model, atau anteseden, yang jika keseluruhan hal ini dipanggil kembali
melalui suara akan menimbulkan sensasi bunyi tertentu bagi pendengarnya seperti
perasaan enak, membuat lutut gemetar, sedih, marah dan mengharukan. Dan ketika
contoh atau pun model dari masalalu itu disorot lentera Sang Pengarang, maka
citra yang dipantulkannya adalah bayang, akibat cahayanya tidak mampu menerangi
keseluruhan kegelapan, namun seolah-olah bayang tersebut merupakan keseluruhan
dari masa lalu yang diangankan. Bagaimanapun suara dan cahaya bertaut erat
dengan otoritas. Kharisma adalah dia yang memiliki suara dan mempunyai
kemampuan memancarkan cahaya, yang dengan kedua hal ini bunyi terjadi dan
bayang tercipta. Ketika satu fiksi ditinggalkan, itu bukan berarti bunyi dan
bayangnya memudar. Kedua hal ini bercokol di suatu tempat yang sangat rahasia
dan misterius, yakni dalam ingatan manusia. Lantas apa isi ingatan tersebut?
Bahasa saya sungguh terbatas untuk bisa mengurai hal ini karena saya bukan
seorang pakar psikoanalis, tapi saya cuma bisa menduga-duga, semoga saya
keliru, jika kita mengacu pada situasi pascaperang dan sebelumnya kolonialisme,
dua pemberontakan dalam setengah abad terakhir, pembunuhan massal, puluhan
kuburan massal, ditambah bencana alam, ingatan tersebut kemungkinan berisi
segala hal tentang: bunyi superioritas bahwa kita adalah puak tangguh yang
bukan hanya bisa bertahan tapi mampu melampaui seluruh bencana berikut
luka-lukanya; bunyi kehendak untuk menguasai yang lain tapi pada saat yang sama
rindu akan bayangan patron yang bisa mengayomi perasaan inferioritas; bayangan
kekerasan; bunyi keputusasaan; bayangan machoisme; bayang-bayang represi; dan
bunyi kesakitan akibat hilangnya martabat dan harga diri, citra-citra yang
sesungguhnya ambigu dan saling bertolak-belakang, timbul tenggelam seperti
Bunyi ini masih mempunyai efek setidaknya pada 1980, saat Teungku Dolah Kuala
Bak U dari Manggeng membacakan hikayat Teuku Tjut Ali, pejuang yang kepalanya dipenggal
Gompeni dan diawetkan dalam stoples, 'banyak orang yang gemetar, dikuasai
kemarahan, dan ingin membunuh orang kulit putih'. (Wawancara dengan Muda Balia
Manggeng, 18 April 2016). 1 1 malaria tropis, bercampur baur dalam belanga
besar ingatan kolektif kita, yang kalau ingatan tersebut diletakkan di bawah
pindai miskroskop akan memperlihatkan lanskap kekacauan seperti yang
diakibatkan tsunami 2004. Jangan salah, ingatan seperti ini bukan hanya khas
milik kita, relatif semua budaya pascaperang memiliki kompleksitas yang
mengerikan ini, lahan basah bagi politik kharisma, tempat moral kultus
membangun kuil sucinya, dan kontrol jangka panjang terhadap emosi massa
berlangsung. Dari sudut pandang para demagog yang ganas, bayang dan bunyi yang
saling tumpangtindih seperti ini adalah mangsa empuk terhadap bagaimana sebuah
kenyataan bisa dimanipulasi kadangkala pada derajat yang sangat menghancurkan.
Dunia misalnya tidak akan pernah mengenal pembersihan etnis jika tidak ada
bayang dan bunyi yang menggerakkan persepsi bahwa ras dari etnis yang layak
dibantai posisinya lebih rendah dari anjing milik si pembantai. Dalam
kesempatan ini, saya tidak sedang menyarankan bahwa kita harus memoderasi (saya
tidak punya pilihan kata lain yang lebih tepat) bunyi dan bayang kita,
menyingkiran apa-apa yang mengerikan dan mempertahankan yang baik, karena
keinginan ini jelas akan menemukan jalan buntu. Saya juga tidak sedang mengajak
saudara-saudari sekalian berdamai dengan bunyi dan bayang dari masa lalu kita.
Bagaimanapun, baik dan buruk, itu adalah bagian dari masalalu kita sebagai
Aceh, kenyataan yang tidak bisa kita tolak dan ubah. Namun saya akan
menggunakan kesempatan ini untuk meramal masa depan. Basis ramalan saya adalah
penyakit-penyakit yang dulu sudah tumpas (bahkan telah diperangi sejak zaman
kolonial) kini muncul kembali dalam kehidupan kita. Pelan tapi pasti
penyakit-penyakit berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) berkembang biak,
berbanding lurus dengan upaya pencegahan yang hampir gagal-total, akibat
birokrasi dan institusi kesehatan tidak berdaya meyakinkan masyarakat,
menjadikan Aceh sebagai salah satu provinsi dengan tingkat imunisasi terendah
di Indonesia. Keadaan ini niscaya akan memangsa kualitas demografi kita satu
generasi ke depan. Masa depan kita akan lebih sulit dan gelap. Sumber utama
penyakit-penyakit ini bukan hanya virus dan bakteri, atau kondisi kemiskinan
dan kebodohan yang menjadi kawan setia bagi penyakit menular. Lebih menakutkan
dari itu, penyakit-penyakit ini tumbuh, mekar dan bertahan oleh fiksi, apakah
sumbernya berasal dari rumah ibadah, grup WA, atau gedung pemerintah sendiri.
Untuk melawan ancaman ini, tidak ada cara lain, negara harus mempercayai sains
sebagai satu-satunya otoritas yang paling berhak untuk membahasakan kenyataan
ini. Kita akan menjadi masa lalu bagi masa depan. Sebagai Aceh apa yang kita
punyai sekarang untuk masa depan yang lebih baik? Kalau boleh saya katakan,
satu-satunya hal yang paling berharga yang kita punyai sekarang – untuk
sementara – adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, tapi sekaligus
posisinya paling lemah, tak dihargai, yang membuat lutut setiap orang Aceh
gemetar dan tak ingin membicarakannya. Kalau kita punya keberanian untuk
menyentuhnya, itulah sumbangan terbesar generasi ini bagi masa depan, yang akan
membentuk wajah Aceh menjadi berbeda. Jadi menurut hemat saya, kepercayaan dan
sokongan penuh harus diberikan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsialisi (KKR)
Aceh untuk bekerja, sebagaimana negara-negara beradab yang lain telah melalui
tahapan yang menyakitkan, kelam, memalukan, dan tidak terhormat ini, dalam
sejarah mereka. Dalam pada itu, untuk menjaga masa depan ini, kita harus selalu
awas dan waspada terhadap para demagog yang berusaha memanipulasi kenyataan
dengan cara menumpang hidup pada bayang dan bunyi yang berasal dari masa lalu.
Untuk itu, sains dan seni harus bahu-membahu membuat barikade sesolid mungkin
agar politik tidak menemukan masalalu kita apalagi memanipulasinya untuk tujuan
mengendalikan masa depan kita, dan pada saat yang sama mencurigai apa pun yang
dikatakan oleh politik menyangkut masalalu kita. Karena hanya dengan demikian
politik bisa leluasa membangun fiksi baru tentang masa depan yang lebih
beradab, antara lain dengan memenjarakan koruptor, mengendalikan militer agar
tidak mencampuri kehidupan sipil, menambah jumlah perpustakaan, museum, gedung
kesenian, taman bermain, ruang terbuka hijau, menyubsidi bahan bacaan, menambah
jumlah anggaran penelitian ilmiah, menyediakan lapangan kerja, mengendalikan
wabah-penyakit dan seterusnya, dan seterusnya